Jumat, 10 Februari 2017

Makhluk penilai diri

Kesadaran menilai dirinya sendiri menjadikan manusia secara alamiah berpembawaan etika. Tidak usah diajari norma agama, manusia tahu kemaluannya harus ditutupi, manusia juga tahu mencuri, menipu, merampok itu dosa.

Kenapa Cina yang negara komunis, anti Tuhan, berjuang puluhan tahun untuk memerangi korupsi? Sebab tidak usah pakai agama, manusia sudah punya bawaan etika, sejak lahir sudah mengerti korupsi itu dosa.

Etika muncul karena kemampuan kesadaran manusia menilai dirinya ke dalam, ada apa dengan dirinya, bagaimana dirinya, diri ini sebenarnya siapa.

Kesadaran menilai dirinya sendiri menjadikan kita tidak bisa mengerti, "Mengapa jantung deg-degan kencang ketika kita mau selingkuh? Kenapa tangan kita gemetaran ketika mau mencuri? Kenapa kita takut ketahuan orang ketika berbuat dosa?"

Sel-sel tubuh kita sudah berbawaan spiritual, sel-sel tubuh kita menolak keras dibawa berbuat dosa, tangan dan kaki kita gemetaran, jantung deg-degan, muka pucat-pasi, dan indikasi pemberontakan lainnya dari sel-sel tubuh ketika kita bawa untuk berbuat dosa.

Dan bawaan seperti itu berlaku untuk semua manusia, tanpa disekat oleh agama dan budaya apapun juga, manusia berkarakter sama.

Sadar sebagai manusia, artinya sadar sebagai makhluk penilai diri.

Sadar sebagai makhluk penilai diri, artinya sadar sebagai makhluk beretika yang senantiasa terdorong berbuat baik dan menolak berbuat buruk.

Tingkat kesadaran menilai diri sendiri inilah yang kemudian melatarbelakangi tingkat kesadaran beretika seseorang.

Di acara konser musik, seringkali perkelahian terjadi gara-gara senggolan tangan saat joged. Soal sepele, resikonya benjut-benjut.

Hal itu karena biasanya mereka menenggak miras sehingga kontrol diri mati. Mudah terbakar dan memanas, etikanya menjadi rendah.

Etika berkenaan dengan kesadaran Tuhan yang ada dalam diri seseorang.

Saya pernah menyampaikan tentang para penzikir dan para pelaku meditasi. Zikir itu mengingat Allah, pelaku meditasi itu mengingat diri sendiri, misal hening diri merasakan keluar-masuknya nafas.

Tetapi perolehan wisdom keduanya sama, yakni keduanya sama-sama punya kesadaran menilai diri yang kuat, keduanya punya intropeksi diri yang sangat baik sehingga akhlak dirinya semakin mulia.

Di sini letaknya, mengenal diri tidak lebih dari mengenal Tuhan. Seorang yang kenal Tuhannya dengan baik, dia kenal dirinya dengan baik pula. Karena ini, kualitas menilai dirinya sendiri tidak lain kualitas kesadarannya pada Tuhan.

Makin tinggi kesadaran menilai dirinya, makin tinggi kesadarannya pada Tuhan. Dan wujud kesadaran kepada Tuhan tidak lain wujud akhlaknya. Makin baik etikanya, berarti sadarnya akan diri dan akan Tuhan juga semakin tinggi.

Al-Qur'an mengidentifilkasi karakter ulama pun berdasarkan kemampuan sadarnya untuk takut kepada Allah, artinya itu kemampuan sadarnya menilai dirinya sendiri.

Ali bin Abi Thalib pernah membatalkan pedangnya untuk menebas leher Amr bin Abdil Wad, lawan duelnya dalam Perang Khandaq, walau pun si Amr sudah terkapar kalah. Ali membatalkannya gara-gara Amr meludahi mukanya.

Ali tidak mau membunuh hanya karena dipicu amarah, karena itu dia membatalkan. Ali sangat baik dalam menyadari dirinya sendiri.

Artinya seorang yang rendah dalam kesadaran menilai dirinya sendiri, dia rendah dalam adab. Ucapannya memprovokasi, mencaci-maki, menyulut dan menghujat, menghasut, dan membabi-buta di dalam kebencian.

Prilaku dan ucapannya liar, syahwatnya juga liar, dia kesusahan untuk sekedar tidak gaduh di situasi tenang, apalagi tidak gaduh di situasi konflik.

Kesadaran menilai diri sendiri itulah radar pengukur kesadaran kita pada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Adventure pucuk merah