Senin, 23 Juli 2012

Tuhan memang satu kita yang tak sama

“Tuhan, apakah Engkau sedang bercanda denganku?”, seru Marcell dalam hati.

Lagi-lagi aku mengalami hal yang sama, seperti film yang kembali ditekan tombol play, kejadian yang sama diulang kembali dihadapanku.

Bertemu dengan seseorang hanya untuk kembali gigit jari. Huh, yang benar aja Tuhan?

Ini semua gara-gara ajakan dari salah satu temanku untuk menemaninya ke rumah duka, dan sialnya karena aku juga sedang tidak ada kerjaan dengan cepat aku menyanggupinya.

Disanalah aku melihatnya, mengenakan baju berwarna putih dengan sabuk putih, lengkap pula dengan kerudung putih di kepala, satu stel baju duka menggunakan kain yang kasar seperti yang sering aku lihat di film-film tentang mafia Hongkong waktu bos besar meninggal.

Awalnya aku hanya tertarik melihat wajahnya yang tetap cantik meski sedang berduka, padahal tak ada make up sedikit pun di wajahnya yang putih. Hanya seulas senyum lemah yang sering diperlihatkan saat ada orang yang melakukan penghormatan terakhir didepan peti mati sebelah dia berdiri.

Tapi satu celoteh dari temanku semakin membuatku penasaran terhadap dirinya.

“Eh, tahu nggak, dia itu kristen lho, aktivis tetap di gereja. Tapi dia tetap menjalankan adat tradisi kuno seperti ini. Padahal kamu tahu sendiri kan orang kristen seperti apa, nggak mau pegang dupa, nggak mau sembahyang lengkap, jadi kalau orangtua yang meninggal itu anaknya beragama kristen pasti ngenes, nggak disembahyangi dirumah setelah meninggal.”

Aku yang lahir dalam sebuah keluarga yang benar-benar mementingkan adat dan tradisi paham betul bahwa semua yang dilakukan ini bertentangan dengan doktrin agama kristen. Karena secara kebetulan sekali aku banyak bergaul dengan teman beragama kristen, bahkan terkadang aku ikut kebaktian ibadah mereka meskipun aku bukan beragama itu.

Khusus untuk kebiasaan aku ikut kebaktian itu mendapat sorotan keras dari orangtuaku, mereka takut lama-lama aku akan pindah agama.

Lucu sekali bukan? Mengapa mereka menganggap sekecil itu imanku? Bukankah iman itu justru akan lebih kuat ketika teruji?

Lamunanku terputus dengan ajakan temanku untuk pulang. Akhirnya aku pulang ke rumah, tapi tidak dengan tangan kosong, karena aku tahu namanya adalah Melia.

7 hari sesudah pemakaman, rumah duka pukul 07.00 malam

Dari sini aku bisa melihatnya, Marcell, orang yang mendadak menjadi dekat denganku akhir-akhir ini. Setelah perkenalan singkat waktu itu yang berlanjut ke sms-sms ringan tapi inspiratif, malah banyak memberikan sms berisi ayat alkitab kepadaku, padahal dia bukan beragama kristen.

Dengan nada bercanda aku sering mengatakan pada dirinya, “Kamu lebih kristen daripada temanku yang asli kristen”.

Aku mengatakan itu bukan karena seringnya dia memberikan sms ayat-ayat alkitab, tapi melihat tingkah lakunya yang selalu mengutamakan Kasih, bukankah itu yang terutama dalam hidup orang kristen yaitu bagaimana mengaplikasikan kasih itu dalam kehidupan didunia?

Tapi sayang, banyak terjadi orang kristen hanya menerapkan kasih ketika mereka ada didalam gereja, kalau sudah diluar gereja bahkan di parkiran mobil aja sudah bisa langsung memaki mobil sebelah ketika macet total di jalan keluar.

Pernyataan dengan nada bercanda tadi dibalas dengan segera waktu itu, “Kalau begitu sama dong, kamu juga lebih konghucu daripada yang asli konghucu tuh. Buktinya kamu menjalankan adat dan tradisi lelulur waktu di pemakaman. Tradisi yang dianggap kuno dan ketinggalan jaman oleh anak muda jaman sekarang.”

“Aku menjalankan tradisi karena itulah bentuk penghormatanku terhadap sejarah leluhur. Kita harus menghormati dan tidak boleh melupakan sejarah, karena itulah asal muasal diri kita.”, balasku tidak kalah cepatnya.

Percakapan itu akhirnya diakhiri dengan gelak tawa kami berdua menertawakan perbedaan yang menjadi indah saat dimaknai berbeda dari biasanya.

49 hari sesudah pemakaman, rumah duka pukul 09.00 malam

Ternyata waktu 49 hari telah mampu membuat aku merasa dekat sekali dengan dirinya. Malam ini aku harus mengatakan padanya, aku sudah tak mampu menahannya lebih lama lagi.

Tapi bagaimana caranya ditengah begitu banyaknya orang yang datang di acara 49 hari ini?

Oh aku tahu.. Akan kuberikan surat kepadanya.

Kumasukkan dalam lipatan buku supaya tidak kelihatan oleh yang lain.

Melia menerima buku dari Marcell dengan penuh tanda tanya.

Marcell memberikan isyarat kode supaya membaca buku itu waktu sudah di rumah aja.

Setibanya dirumah, Melia langsung masuk ke kamar dan membuka buku itu, ada secarik kertas berisi tulisan tangan, dengan segera dia membacanya.
animated gif

100 hari sesudah pemakaman, rumah duka pukul 10.00 malam

Selembar amplop kuterima, tak sabar aku berjalan menuju ke mobil, kubuka amplop itu disana.
Tuhan memang satu, kita yang tak sama

Tidak ada komentar:

Adventure pucuk merah